Aroma Busuk di Balik Revitalisasi SDN 1 Kuripan, Rp 690 Juta Diduga Jadi Ladang Kepentingan

Header Menu


Aroma Busuk di Balik Revitalisasi SDN 1 Kuripan, Rp 690 Juta Diduga Jadi Ladang Kepentingan

Rabu, 05 November 2025


Grobogan, IM– Seperti halaman sekolah yang mestinya tumbuh subur dengan ilmu, SDN 1 Kuripan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, kini justru diselimuti kabut dugaan penyelewengan anggaran revitalisasi senilai Rp 690 juta. Bantuan yang seharusnya mempercantik ruang belajar anak-anak diduga berubah arah, menguap ke kantong pribadi oknum kepala sekolah berinisial AG.


Dugaan itu mencuat setelah muncul kabar bahwa material bongkaran sekolah—mulai dari genteng, paving, hingga kayu—yang seharusnya menjadi aset negara, dijual secara diam-diam. Hasil penjualannya disebut-sebut digunakan untuk membeli sepeda motor Honda Vario merah doff 160 cc, simbol kecil dari retaknya integritas di dunia pendidikan.


Tak berhenti di situ, isu pribadi pun turut menyeruak. Sejumlah sumber internal menyebut AG memiliki hubungan di luar pernikahan. Dunia pendidikan yang seharusnya menjadi teladan justru tercoreng, ironisnya di tengah menjelang peringatan Hari Guru 25 November, yang semestinya menjadi panggung kehormatan profesi.


Secara fisik, pekerjaan proyek baru berjalan sekitar satu bulan. Namun kualitas pembangunan dinilai jauh dari layak. Batu bata merah berkualitas rendah, kusen dan pintu keropos dibiarkan tetap terpasang, galvalum atap diduga tidak berstandar SNI, hingga adukan semen yang tampak “hemat” ala bangunan darurat.

Proyek ini dikelola langsung oleh kepala sekolah bersama komite, tanpa transparansi publik, menyalahi prinsip pengelolaan dana swakelola.


Di balik tawa polos para murid yang masih percaya sekolah adalah rumah masa depan, terselip pertanyaan getir: ke mana arah integritas pendidikan jika ruang kelas pun dibangun di atas pondasi kecurangan?


Salah satu aktivis pendidikan Grobogan, Siti Winarsih, angkat suara lantang. Ia menegaskan bahwa dana revitalisasi bukanlah hadiah yang boleh diperlakukan seenaknya, tetapi amanah negara untuk menciptakan ruang belajar yang layak bagi generasi muda.


"Dana itu datang membawa tanggung jawab, bukan untuk memperkaya pribadi,” tegas Siti.


Menurutnya, setiap sekolah penerima wajib memenuhi 10 dokumen utama, seperti SK Kepala Sekolah, SK P2SP, data kondisi bangunan, hingga rencana anggaran biaya (RAB). Dokumen-dokumen itu dibuat untuk memastikan tidak ada ruang gelap bagi permainan kotor.


Ia juga mengingatkan bahwa guru tidak boleh dijadikan bemper proyek. Peran mereka adalah mendidik, bukan ikut mengurus administrasi dan keuangan yang menjadi ranah Panitia Pembangunan Satuan Pendidikan (P2SP). Proses belajar pun wajib berjalan tanpa gangguan, karena anak-anak tidak boleh menjadi korban dari kekacauan manajemen.


Hingga berita ini diturunkan, pihak sekolah dan instansi terkait masih diupayakan untuk dikonfirmasi. Publik menunggu, seperti murid menunggu bel tanda pulang — berharap kebenaran segera muncul dan keadilan tidak hanya menjadi poster motivasi di dinding kelas.


(Tim Redaksi Dikutip dari Media Group)